Sebening Nurani

Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti sahabat tercinta? Tentu indah. Kita menjadi yang pertama-tama menangkap kilasan cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita lensa konkaf untuk menebarkannya. Atau kita juga segera menangkap tebaran masalah yang menggayuti benaknya.

Abu Bakr adalah orang dengan nurani yang begitu jernih, begitu suci. Dia yang paling berduka, menangis dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, disaat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi, Abu Bakr menjadi orang yang paling waras, paling tenang dan paling menentramkan.

“Tiada hari yang lebih bercahaya di Madinah” Kata Anas ibn Malik, “daripada hari ketika Rasulullah datang kepada kami. Dan tidak ada hari yang lebih gelap dan muram daripada saat beliau wafat.” Hari itu isak dan sedu menyatu. Tangis dan ratap berbaur. Air mata bergabung dengan keringat dan cairan hidung. Dan seorang lelaki berteriak-teriak, membuat suasana makin kalut.

“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah meninggal dunia!” kata sosok tinggi besar itu. Banyak orang berhimpun di sekelilignya hingga yang di belakang harus berjinjit untuk mengenali bahwa si gaduh itu adalah ‘Umar ibn AL Khattab. “Sesungguhnya beliau tidak mati! Beliau hanya pergi menemui RabbNya seperti Musa yang pergi dari kaumnya selama 40 hari, lalu kembali lagi pada mereka setelah dikira mati! Demi Allah, Rasulullah pasti akan kembali! Maka tangan dan kaki siapapun yang mengatakan beliau telah meninggal harus dipotong!”

‘Umar masih terus berteriak-teriak bahkan menghunus pedang ketika Abu Bakr datang dan masuk ke bilik ‘Aisyah, tempat di mana jazad Sang Nabi terbaring. Disibaknya kain berwarna hitam yang menyelubungi tubuh suci itu, dipeluknya Sang Nabi dengan tangis. “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu…”bisiknya, “Allah tidak akan menghimpun dua kematian bagimu. Kalau ini sudah ditetapkan, engkau memang telah meninggal.” Abu Bakr mencium kening Sang Nabi. “Alangkah wanginya engkau dikala hidup, alangkah wangi pula engkau disaat waktu”

‘Umar masih mengayun-ayunkan pedang ketika dia keluar. “..Kaki dan tangannya harus dipotong! Dipotong!” teriak ‘Umar
“Duduklah hai ‘Umar!”, seru Abu Bakr. Tapi ‘Umar yang bagai kesurupan tak juga duduk. Orang-orang, dengan kesadaran penuh mulai mendekati Abu Bakr dan meninggalkan ‘Umar. “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat”, katanya berwibawa, “tapi barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal!” Abu Bakr lalu membaca ayat yang dibaca Mush’ab ib ‘Umair menjelang syahidnya, saat tubuhnya yang menghela panji Uhud dibelah-belah dan tersiar kabar bahwa Rasulullah terbunuh.

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang? Dan barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. 3 : 144)

‘Umar jatuh terduduk mendengar ayat ini. Pedangnya lepas berdentang dari genggaman. Dengan gumaman diselingi isak, disimak dan dilafalkannya ayat yang dibaca Abu Bakr. Demikian juga yang lain. Mereka semua membaca ayat itu, seolah-olah ayat itu baru saja turun. Seolah-olah mereka tak pernah mendengar ayat itu sebelum Abu Bakr membacakannya. Entah mengapa, sekali lagi, kebeningan hanya milik Abu Bakr seorang pada hari itu…

(Salim A. Fillah ~ Jalan Cinta Para Pejuang)

Ketika bacaan saya sampai pada bab ini, saya lagi-lagi disentil. Diingatkan..yah diingatkan akan banyak hal. Apalagi ketika di halaman sebelumnya mendapatkan dialog ini:

“Ya Rasulullah”, kata ‘Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”Rasulullah tersenyum “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu”“Ya Rasulullah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”

Dan saya tidak bisa menuliskan secara tepat sentilan apa yang saya rasakan. Saya menemukan makna kecintaan, penerimaan, kelapangan, kehilangan, kekuatan, dan entah apa lagi namanya….